Hidup Ivan itu tidak baik-baik saja. secara mental dia
banyak memiliki tekanan, dari sisi fisik pun dia punya banyak masalah
dengan sakitnya. Itu dia tanggung di sepanjang sisa hidupnya. Jadi kalo
pun akhirnya dia pergi, ya saya pikir itu adalah salah satu media untuk
bisa membebaskan dia..” - @AddyGembel (Forgotten)
Itu adalah
cuplikan adegan dari bab meninggalnya Ivan ‘Scumbag’ Firmansyah, vokalis
berkharisma yang harus pergi selama-lamanya ketika karier bermusiknya
baru saja memasuki sebuah fase baru. Fase matang yang semenjak dulu dia
impikan dan perjuangkan dengan kerja keras bersama band yang sangat
dicintainya, namun tak bisa lagi dia nikmati hasilnya. Tragis memang.
Sebagai teman dekat yang sering berbagi cerita dengan Ivan, sudah tentu
kejadian ini memukul mental saya dengan telak. Jujur, saat itu saya
sempat berpikir untuk tidak lagi bermain dan pensiun dari dunia musik,
terlalu banyak beban dan pertanyaan di kepala saya untuk bisa kembali.
Sepertinya mustahil melanjutkan semuanya tanpa ada Ivan di sebelah saya.
Akhirnya setelah susah payah melewati masa duka, saya menemukan
titik di mana saya harus belajar ikhlas dan berpikir lebih baik ke
depannya. Momen kepergian Ivan ini memberi saya ide dan semangat baru
untuk mulai menggarap film dokumenter We Will Bleed, yang sudah
hampir lima tahun ini saya kerjakan. Film berdurasi kurang lebih 90
menit yang berisi berbagai cerita dari perjalanan panjang band
superkeras asal pinggiran kota Bandung, Ujungberung. Band yang tidak
pernah menyerah mengejar mimpi-mimpi gila untuk bisa meraih dunia
melalui musiknya. Band yang telah lebih dari 17 tahun selalu memberi
energi positif dan mengajarkan banyak cara bertahan hidup berdampingan
dengan berbagai idealisme yang dianut oleh saya dan teman-teman di
Burgerkill.
Awalnya saya hanya ingin membuat film pendek tentang di balik layar sesi rekaman album Beyond Coma And Despair, dengan banyaknya footage
Alm. Ivan saat proses penggarapan album terakhirnya bersama Burgerkill.
Sampai akhirnya ide saya bergeser ketika menemukan banyak kaset video
berbagai format di laci lemari arsip, antara lain 289 kaset MiniDV,
sembilan kaset VHS, puluhan file video berbagai format, dan ratusan foto
dari era awal band ini berdiri, yang wajib saya konsumsi satu persatu
sebagai bahan utama dalam susunan alur film ini. Butuh waktu lama dan
keterampilan khusus untuk bisa melakukannya. Sempat terpikir untuk
melibatkan pihak lain dan membayar mereka untuk mengerjakannya, tapi
keterbatasan dana menjadi ganjalan utama. Akhirnya saya nekat
mengerjakannya sendiri dengan minta bantuan beberapa teman dekat.
Target
pengerjaan tiga tahun terpaksa harus molor karena berbagai masalah
berbau teknis yang tidak jarang bikin hilang semangat. Contohnya, ketika
film ini sudah selesai, tiba-tiba hampir 70% external hardisk
yang saya gunakan sebagai pusat penyimpanan data crash karena tegangan
listrik yang anjlok dan mati. Gilanya, setelah dicek, hampir 90% sumber
data film hilang dan tidak bisa lagi diselamatkan.
Hingga hari
ini banyak yang bertanya di akun Twitter @burgerkill666 : “Kapan film
ini dirilis? Kenapa penggarapannya lama sekali?“ Rasanya saya atau
siapapun yang ada di band ini juga tak tahu harus menjawab kapan dan
kenapa. Terlalu panjang untuk diceritakan, tapi yang jelas, membuat film
dokumenter band tidak sesederhana yang dibayangkan, apalagi ini band
saya sendiri. Tak jarang perasaan personal saya ikut terbawa. Selain
itu, minimnya pengetahuan saya dalam hal pembuatan film dokumenter juga
menjadi salah satu faktor. Tapi bagaimanapun juga, ini film pertama
saya. Hanya tekad bulat dan semangat menembus keterbatasan yang menjadi
nutrisi saya untuk menyelesaikannya.
Untungnya ada satu hal yang
saya suka dari Burgerkill. Sejak awal band ini memang memiliki banyak
dokumentasi, apapun bentuknya. Mulai dari cerita unik awalnya berdiri,
lalu menjadi band hardcore pertama di Indonesia yang bernaung di major label,
ditambah kepergian mendadak sang vokalis di tengah proses peluncuran
album baru, jadi bagian penting dari film ini. Selain itu pencapaian
bisa bermain di Soundwave dan Big Day Out Festival, Australia, bersama
band-band metal internasional juga menjadi materi pelengkap di film We Will Bleed ini.
Selain dikerjakan secara DIY (do it yourself), film ini juga digarap dengan peralatan yang seadanya tanpa ditunjang oleh kamera film profesional. Bahkan beberapa footage yang digunakan di film ini berasal dari kamera digital atau kamera ponsel biasa. Tapi saya tetap mempergunakannya selama footage
itu masih dalam kondisi baik. Ada beberapa hal yang saya pelajari
selama proses ini, salah satunya adalah jangan pernah menganggap remeh
sebuah dokumentasi. Hal sepele yang terkadang dilupakan oleh kita
ternyata bisa bercerita banyak suatu hari nanti ketika kita sangat
membutuhkannya.
Hal paling penting yang saya pelajari dari film
ini adalah tidak ada mimpi besar yang dapat diraih tanpa kerja keras dan
kebesaran hati dalam menghadapi segala macam prosesnya. Kemenangan
terbesar adalah ketika kita mampu menyelesaikan suatu hal yang menurut
orang lain tak mampu kita lakukan. Semoga film We Will Bleed
ini dapat dinikmati dengan baik dan memberikan energi positif kepada
siapapun yang telah mengenal dan menjadi penikmat setia agresi musik
Burgerkill. Film ini adalah hadiah spesial untuk mengenang jasa besar
seorang sahabat yang telah mendedikasikan hampir separuh hidupnya untuk
Burgerkill. This is for you, dude. Rest In Peace m/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar